Kelembagaan pertanian
adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan
terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas
petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial
yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu
komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan.
Untuk itu segala
sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka
peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini
potret petani dan kelembagaan petani
di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra,
2008) Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di
Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya
padi.
Di tingkat makro
nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam program dan
proyek intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan
pertanian dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun
kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra,
Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas),
Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD),
Insus, dan Supra Insus.
Pada subsector peternakan
dikembangkan berbagai program dan lembaga pembangunan koersif, seperti Bimas
Ayam Ras, Intensifikasi Ayam Buras (Intab), Intensifikasi Ternak Kerbau
(Intek), dan berbagai program serta kelembagaan intensifikasi lainnya.
Kondisi di atas
menunjukkan signifikansi keberdayaan kelembagaan dalam akselerasi pembangunan
sektor pertanian. Hal ini
sejalan dengan hasil berbagai pengamatan yang menyimpulkan bahwa bila inisiatif
pembangunan pertanian dilaksanakan oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di
mana individu- individu yang memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan
pengetahuannya dalam tahap perencanaan dan implementasi inisiatif tersebut maka
peluang keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar (De los Reyes
dan Jopillo 1986; USAID 1987; Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea 1993; Bunch dan
Lopez 1994 dalam Sradisastra, 2011).
Menurut Dimyati (2007),
permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di
Indonesia adalah:
1. Masih minimnya wawasan
dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan
pemasaran.
2. Belum terlibatnya secara
utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada
kegiatan produksi (on farm).
3. Peran dan fungsi
kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.
Untuk mengatasi
permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan
penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga tenaga kerja,
kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan
kelembagaan permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position
petani.
Tindakan perlindungan
sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun
penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat
harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan demikian, penguatan
dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian
kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan berbagai usaha untuk
menopang dan menunjang aktivitas kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan.