Wednesday, February 20, 2013

KELEMBAGAAN PERTANIAN UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS PETANI TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN


Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan.
Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan  petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008) Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya padi.
Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal   (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Insus, dan Supra Insus.
Pada subsector peternakan dikembangkan berbagai program dan lembaga pembangunan koersif, seperti Bimas Ayam Ras, Intensifikasi Ayam Buras (Intab), Intensifikasi Ternak Kerbau (Intek), dan berbagai program serta kelembagaan intensifikasi lainnya.
Kondisi di atas menunjukkan signifikansi keberdayaan kelembagaan dalam akselerasi pembangunan sektor pertanian. Hal ini  sejalan dengan hasil berbagai pengamatan yang menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individu- individu yang memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap perencanaan dan implementasi inisiatif tersebut maka peluang keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar (De los Reyes dan Jopillo 1986; USAID 1987; Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea 1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam Sradisastra, 2011).
Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah:
1.     Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran.
2.     Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm).
3.     Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.
Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani.
Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan berbagai usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan.